gucikremasi@gmail.com
Jakarta, DKI
Order Now
Berita Berita Terbaik Tentang Guci Kremasi
Home » Managers  »  Berita Berita Terbaik Tentang Guci Kremasi
Guci kremasi dan Guci Larung merupakan sebuah tempat untuk menyimpan abu jenasah yang sudah di kremasi. Abu jenasah yang sudah di kremasi seharusnya di simpan kedalam satu wadah yang sering di sebut Guci

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful. Nor again is there anyone who loves or pursues or desires to obtain pain of itself, because it is pain, but because occasionally circumstances occur in which toil and pain can procure him some great pleasure. To take a trivial example, which of us ever undertakes laborious physical exercise

Guci Kremasi

Guci kremasi dan Guci Larung merupakan sebuah tempat untuk menyimpan abu jenasah yang sudah di kremasi. Abu jenasah yang sudah di kremasi seharusnya di simpan kedalam satu wadah yang sering di sebut Guci. Guci kremasi yang baik memiliki untuk ying dan yang, karena kehidupan sekarang dan dikemudian hari selalu ada. Dimana semua manusia paham bahwa setelah kematian masih ada kehidupan di alam lain. Maka semua manusia selalu melakukan perbuatan baik dan takut akan dosa. Kemana manusia meninggal ? Hanya Sang Pengcipta yang tahu. Mari kita lakukan yang terbaik untuk Almarhum dengan sebaik-baiknya.  Dapat disimpulkan sementara Guci Kremasi & larung sama dengan sebuah tempat atau rumah tinggal terakhir ALmarhum. Bagaimana pilihan keluarga dengan guci yang baik.

ROMO BICARA

Menebar Abu Kremasi di Larang ? 

Lorem ipsum J.A. Hendra Sutedja SJ

HIDUPKATOLIK.com - Pastor J.A. Hendra Sutedja SJ menyebut bahwa pilihan kata “penyempurnaan” paling tepat untuk mewadahi pengertian proses menangani abu jenazah sampai ke tempat peristirahatan terakhir.

Lebih lanjut Romo Hendra menjelaskan, sebelum Konsili Vatikan II, Gereja dengan tegas melarang kremasi. Larangan itu termaktub dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) tahun 1917 Kanon 1203 #1. Kanon tersebut mengatakan bahwa Gereja menolak untuk menyelenggarakan ritual penguburan secara Katolik bagi orang yang memilih kremasi. Gereja menekankan pemakaman jenazah dengan mengebumikannya.

Pada 8 Mei 1963 Paus Paulus VI mengeluarkan Instruksi Apostolik Piam et Constantem. Dokumen ini mencabut larangan kremasi. Kremasi diperbolehkan, tetapi harus dengan alasan yang sungguh kuat. Misalnya, alasan-alasan yang tidak muncul dari sikap yang berlawanan dengan dogma dan kebencian akan ajaran Gereja.

Ordo Exsequiarum 

Sikap Gereja itu kemudian diinkorporasikan ke dalam revisi KHK tahun 1983 Kanon 1176 #3. Gereja tidak melarang kremasi, tetapi anjuran pertama Gereja adalah mempertahankan kebiasaan saleh untuk mengebumikan jenazah.

Pernyataan “tidak melarang kremasi”, demikian Romo Hendra, hendaknya diartikan bahwa Gereja memberikan alternatif untuk tata cara pemakaman. “Yang harus diperhatikan adalah penyempurnaan abu jenazah setelah umat menentukan pilihan untuk kremasi,” tandasnya.

Dalam pandangan Gereja, abu kremasi harus diperlakukan dengan penuh hormat, sama seperti perlakuan terhadap tubuh manusia. Hal itu disebutkan dalam Tata Cara Pemakaman Katolik (Order of Christian Funerals, OCF) Appendik 2 tentang Kremasi art 417. Dokumen tersebut dikeluarkan oleh Kongregasi Ibadat dengan judul Ordo Exsequiarum pada 22 Januari 1966.

Romo Hendra menjelaskan, sikap hormat yang dimaksudkan hendaknya diungkapkan dalam pemilihan dan penggunaan guci “yang pantas” untuk menempatkan abu kremasi. Cara membawa abu kremasi pun harus dengan sikap hormat, sampai pada cara mengistirahatkannya di tempat peristirahatan terakhir yang layak (OCF art 417).

Setelah kremasi, biasanya abu jenazah sudah dimasukkan ke dalam kantung kain, dan kantung itu dimasukkan ke dalam guci,” jelas dosen Filsafat Timur pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta ini. Setelah itu, lanjutnya, abu kremasi yang sudah ada di dalam guci dapat disempurnakan dengan cara yang sesuai dengan ajaran Gereja.

Pemakaman di laut 

Dalam OCF disebutkan tiga cara penyempurnaan abu kremasi. Pertama, abu kremasi dikebumikan di pemakaman umum (OCF art 417). Kebiasaan cara pemakaman inilah yang dianggap saleh oleh Gereja. Abu kremasi, tetap dianggap sebagai jenazah, layak mendapat penghormatan.

Romo Hendra menjelaskan, berkaitan dengan sakralitas tubuh, Gereja menegaskan bahwa abu kremasi yang utuh berada di dalam guci hendaknya dimakamkan, dengan batu nisan di atasnya.

Kedua, abu kremasi disemayamkan dalam kolumbarium (OCF art 417). Kolumbarium atau rumah abu adalah semacam kotak-kotak kecil yang menyerupai kandang burung merpati, yang dibangun di atas tanah. Guci abu kremasi bisa diletakkan di dalam kolumbarium. “Di Keuskupan Agung Jakarta, terdapat kolumbarium Katolik bernama Oasis Lestari, yang dilengkapi dengan rumah duka dan krematorium,” Romo Hendra memberikan contoh.

Ketiga, abu kremasi dimakamkan di laut (OCF art 406 #4). Caranya, dengan membenamkan guci abu ke dasar laut. Gagasan itu merupakan interpretasi atas bagian dari doa untuk “pemakaman di laut”, yang berbunyi, “Tatkala kami menyerahkan tubuh saudara/saudari kami (nama), ke dasar laut... ” (OCF art 406 #4). Kata “ke dasar laut” mengandung pengertian, bukan disebarkan di permukaan air laut, melainkan ditenggelamkan sampai ke dasar laut dengan menggunakan “guci yang tepat”. Artinya, guci yang dipakai cukup berat dengan lubang kecil pada dasar dan tutup guci, agar memudahkan air masuk ke dalam guci, sehingga mudah tenggelam ke dasar laut. Tutup guci perlu direkatkan dengan kuat ke badan guci, supaya tidak mudah terbuka dan menceraiberaikan abu kremasi.

Dari ketiga cara tersebut, Gereja sangat menganjurkan cara memakamkan abu di dalam tanah dan menyemayamkannya di kolumbarium. Romo Hendra menjelaskan, kedua cara tersebut memungkinkan kunjungan ke tempat peristirahatan yang wafat, mengenang relasi dengannya, dan mendoakannya.

Secara manusiawi kedua cara itu sangat membantu untuk merasakan kedekatan dengan yang wafat. Baik di pemakaman atau di kolumbarium, akan tampak ‘tanda-tanda’ nyata kehadiran orang Katolik. Karena, biasanya pada makam ada nisan dan pada kolumbarium ada tanda-tanda lahiriah yang menunjukkan kehadiran iman Katolik.

Sebaliknya, cara pemakaman di laut tidak meninggalkan jejak kehidupan iman Katolik apa pun. Jejak-jejak tersebut hilang begitu saja ke dasar laut.

Praktik yang dilarang 

Menurut OCF art 417, Gereja tidak membenarkan cara penyempurnaan abu kremasi dengan menebar dari udara, menebar ke laut, dan menebar di permukaan tanah. Praktik seperti itu bukan cara yang dianggap “penuh hormat” pada martabat manusia yang telah menjadi abu. “Maka, cara-cara itu sebaiknya tidak dilakukan oleh umat,” tegas Romo Hendra.

Lebih lanjut Romo Hendra mengungkapkan, menyimpan abu kremasi baik secara utuh seluruhnya maupun dipisah-pisah dalam bagian yang lebih kecildi rumah keluarga yang wafat atau di rumah keluarga lainnya, atau di rumah teman, juga bukan cara yang dianggap “penuh hormat” oleh Gereja. Cara ini ditolak, antara lain juga agar tidak menimbulkan kultus yang tidak sehat terkait dengan yang wafat.

Peran imam dalam cara pemilihan dan pengambilan keputusan untuk penyempurnaan abu kremasi sangat dibutuhkan umat. Bantuan pastoral para imam bagi keluarga yang berduka terletak pada pendampingan dengan memberikan pemahaman sesuai dengan ketentuan Gereja, supaya praktik yang bertentangan dengan iman Katolik tidak terjadi.

R.B. Agung Nugroho